Skip to main content

Mencari guru-guru terbaik


Suatu hari, salah seorang dari bani israil bertanya kepada nabi Musa alaihis salam. “adakah orang yang lebih alim darimu?”, nabi Musa menjawab “tidak ada”. Kemudian Allah memberitahu Nabi Musa bahwa ada orang yang lebih alim darinya, yaitu seorang hamba yang diberikan rahmat dan ilmu. Mufasirin menjelaskan berdasarkan hadis nabi, bahwa hamba yang dimaksud adalah nabi Khidir. Rahmat disini adalah wahyu dan kenabian, sedangkan yang dimaksud ilmu adalah ilmu tentang hal ghaib.

Jawaban nabi Musa tidak hendak menyombongkan diri, tapi karena dalam perspesktifnya, hanya beliau insan yang bisa berbicara langsung dengan Allah, menanyakan perkara-perkara sebagaimana kisah tentang sapi betina yang diabadikan dalam QS. Al Baqarah 67-73. Maka permasalahan yang ditanyakan kepada Nabi Musa pastilah ada jawabannya, karena ketika nabi Musa tidak tahu, maka dia bisa bertanya langsung kepada Allah.

Maka berangkatlah nabi Musa bersama muridnya bernama yusa’ bin nun (yang kemudian menjadi nabi setelah nabi Musa, walaupun tidak menjadi rasul), mencari hamba yang Allah sebutkan, untuk menimba ilmu. Hanya berbekal tanda-tanda keberadaan gurunya yaitu ketika seekor ikan mati yang beliau bawa, akan kembali hidup dan mencari jalan pulangnya ke laut. Tanpa ada kepastian siapa dan dimana gurunya itu berada.

Dalam pencarian gurunya tersebut, Nabi Musa merasakan keletihan sebagaimana layaknya seorang penuntut ilmu. Padahal dikisahkan, nabi Musa dianugerahi kelebihan kekuatan dari manusia pada umumnya, sebagaimana dikisahkan dalam QS Al Qashas 14-17  bahwa satu pukulan dapat mematikan seseorang. Dalam hadis bukhori nomer 269 dari abu hurairah disebutkan bahwa nabi Musa pernah memukul sebuah batu dengan sekali pukulan, dan pada batu tersebut terdapat enam sampai tujuh bekas akibat dari pukulan tersebut.

Maka sebuah hal yang lucu ketika para penuntut ilmu hari ini banyak berkeluh kesah terhadap keletihannya dalam menuntut ilmu. Sedangkan kepayahannya tidak sebanding dengan kepayahan orang orang terdahulu.

Keletihan nabi Musa berbuah manis dengan bertemunya beliau dengan gurunya tersebut. Belajar ilmu hikmah yang belum nabi Musa kuasai, meskipun dengan syarat yang tidak pernah beliau duga, yaitu, tidak boleh bertanya apapun, sampai gurunya tersebut menjelaskan (QS Al Kahfi ayat 70).

Manusia terbaik belajar kepada guru terbaik.

Maka tidak pantas kita hari ini berlenggang diri dalam memperbaiki kualitas diri, menganggap bahwa kita sudah pakar pada bidang yang ditekuni. Sedangkan diluar sana, banyak orang-orang yang lebih pakar yang harus ditimba ilmunya, digali pengalamannya, dicari keberkahan ilmunya. Wa fauqa kulli dzi ilmin alim “dan diatas setiap orang yang berpengetahuan ada orang yang lebih mengetahui” (QS yusuf: 76).

Maka yang pertama kali dilakukan adalah mengenali kekurangan diri, dan bersegera berbenah, mencari guru-guru terbaik…

Selamat mencari!!!

- kartasura, 3 maret 2019 23:21

Comments

Popular posts from this blog

Memilih guru

Memilih guru Seorang penghapal Al Qur'an mutlak membutuhkan seorang guru. Hal tersebut agar sanad bacaannya dapat tersambung kepada Rasulullah. Selain itu, keberadaan seorang guru juga dapat meluruskan dari kesalahan-kesalahan yang mungkin tidak disadari, seperti kesalahan harakat, kalimat yang terbalik, kurang, ataupun kesalahan yang lain. Seorang penghapal Al Qur'an seyogyanya tidak berganti-ganti guru, sehingga ia menyelesaikan hapalannya dengan baik. Untuk itu, sebelum melakukan proses menghapal, mengenal siapa guru kita merupakan hal yang sangat penting. Al Hakim sebagaimana disebutkan imam az zarnuji dalam kitab ta'limul muta'alim pernah berkata "jika kamu pergi ke bukhara, jangan terburu-buru untuk pergi (berguru) ke banyak imam. Cobalah tinggal disana barang dua bulan, hingga kamu memikirkan dan memilih seorang guru. Sebab, jika kamu sudah pergi belajar kepada seorang alim, dan kamu langsung belajar kepadanya, bisa jadi kamu tidak tertarik dengan pel...

Memancing keberkahan ilmu

Memancing berkahnya ilmu Barakah bisa bermakna "ziyaadatul khair" (bertambahnya kebaikan). Bertambahnya kebaikan atau keberkahan dalam hidup bisa berupa banyak hal. Namun seringkali makna barakah dipersempit hanya sebatas apa yang diinginkan, sehingga parameter yang dipakai adalah kuantitas belaka, bukan pada kualitas, dan kemanfaatan dari sesuatu yang berkah tersebut. Termasuk halnya dengan keberkahan ilmu, banyak orang yang mempersempit keberkahan ilmu sebatas pada mendapatkan pekerjaan yang layak, kehidupan yang mapan, bukan pada apakah ilmu itu mendekatkan pemiliknya kepada penciptanya. Syaikh utsaiman berkata, “Tanda keberkahan ilmu adalah) takutnya seseorang kepada Allah Ta’ala dan bertaubat (kembali) kepada-Nya. Jika ilmu tidak menumbuhkan (membuahkan) rasa takut kepada Allah Ta’ala, bertaubat kepada-Nya, bersandarnya hati kepada-Nya, dan memuliakan kaum muslimin, maka ilmu tersebut telah kehilangan berkahnya. Bahkan, bisa jadi orang tersebut akan menutup ama...